Cari Blog Ini

Senin, 21 Januari 2019

Bhagavad Gita & Ilmuwan Nuklir Robert Oppenheimer

"We knew the world would not be the same. A few people laughed, a few people cried, most people were silent. I remembered the line from the Hindu scripture, the Bhagavad-Gita: Vishnu is trying to persuade the Prince that he should do his duty and, to impress him, takes on his multi-armed form and says, Now I am become Death, the destroyer of worlds. I suppose we all thought that, one way or another."
J.R. Oppenheimer

J.R.Oppenheimer. Foto diambil dari historychickinaz.com

   Julius Robert Oppenheimer (1904-1967) adalah ahli fisika berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia lahir di kota New York pada tahun 1904, tanggal 22 April. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara –adiknya, Frank Oppenheimer di kemudian hari juga menjadi seorang fisikawan.

   Ayahnya, Julius Seligmann Oppenheimer adalah seorang imigran Yahudi Jerman yang datang ke Amerika Serikat pada tahun 1888. Ibunya, Ella Friedman, adalah seorang pelukis yang berasal dari Baltimore. Julius yang mulanya datang tanpa uang, tanpa pendidikan tingkat sarjana, dan tak bisa berbahasa Inggris, di kemudian hari menjadi importir tekstil yang sukses dan kaya. Pada tahun 1912 keluarga mereka pindah ke kawasan elit di Manhattan. Mereka mengkoleksi beberapa lukisan karya pelukis terkenal seperti Pablo Picasso, Édouard Vuillard, dan Vincent van Gogh.

   Keluarga Oppenheimer merupakan keluarga Yahudi Ashkenazi non-observant –Yahudi yang cenderung hidup secara sekuler. Mulai usia 8 tahun, Oppenheimer bersekolah di Ethical Culture Society School selama sepuluh tahun. Sekolah tersebut didirikan Felix Adler(1851-1933), seorang Amerika keturunan Jerman, putra dari rabbi Samuel Adler yang merupakan tokoh terkemuka Yudaisme Reformasi. Sekolah itu punya motto “Deed before Creed” yang mengajarkan gerakan Ethical Culture –Julius Seligmann Oppenheimer sendiri merupakan salah satu anggota komisaris sekolah tersebut.

   Pada usia 18 tahun, Oppenheimer masuk ke Harvard College di Universitas Harvard, juga menjadi salah satu anggota honor society tertua di Amerika Serikat, Phi Beta Kappa. Ia lulus dengan status summa cum laude dalam waktu tiga tahun. Pada tahun 1924 ia diterima di Christ’s College di Universitas Cambridge. Pada tahun 1926, ia meninggalkan Cambridge untuk menempuh studi di Universitas Göttingen, dan setahun berikutnya saat berusia 23 tahun ia meraih gelar Doctor of Philosophy  di bawah bimbingan Max Born. Selain Oppenheimer ada beberapa ilmuwan Amerika Serikat lainnya yang melawat ke Eropa, seperti Hans Bethe, Linus Pauling, E.U. Condon, dan Isidor Isaac Rabi.

   Oppenheimer berkarir di California Institute of Technology (Caltech) pada September 1927. Dari tahun 1929 sampai 1943 ia menjadi pengajar di Universitas California, Berkeley. Dari tahun 1943 hingga 1945, ia menjadi pemimpin Laboratorium Los Alamos yang didirikan sebagai bagian dari Manhattan Project. Jumlah pekerja di Los Alamos yang mulanya ratusan pada tahun 1943 bertambah menjadi 6000an pada tahun 1945. Di Los Alamos, Oppenheimer bertindak sebagai scientific director, ia menguasai semua aspek ilmiah dari prouek tersebut, dan menjadi penyeimbang dari perbedaan kultural antara pihak militer dan para ahli sains. 

   Setelah masa Perang Dunia II, ia kembali Caltech, namun merasa bahwa minatnya mengajar telah berkurang. Ia kemudian bergabung dengan IAS atau Institute for Advanced Study, di Princeton, New Jersey, pada tahun 1947.
[**Baca juga entri tentang Perang Dunia: Septemberprogramm, Rencana Jerman di Perang Dunia I yang GagalOccult Forces, Film NAZI bertema Propaganda Anti-Freemason**]

Ketertarikan Oppenheimer dengan Bhagavad Gita


Foto oleh penulis, Bhagavad Gita dari koleksi pustaka pribadi penulis
   Setelah lulus dari Ethical Culture School dan melanjutkan ke Harvard, Oppenheimer semakin tertarik untuk belajar mendalami kitab-kitab Hindu, meskipun masih dari terjemahan bahasa Inggris dari kitab-kitab tersebut. Saat salah satu rekan Oppenheimer, Isidor Isaac Rabi, bertemu dengan Oppenheimer pada tahun 1929, dan I.I. Rabi melihat bahwa Oppenheimer lebih tertarik pada teks-teks Hindu tersebut dibanding dengan fisika.

   Di salah satu surat Oppenheimer kepada adiknya, ia menulis “aku mempelajari bahasa Sansekerta, sangat menyenangkan untukku, dan aku merasa kenikmatan saat memperoleh pelajaran”. Pada tahun 1933, di Berkeley Oppenheimer belajar bahasa Sanskerta di bawah bimbingan Profesor Arthur W. Ryder. Ia menyimpan sebuah copy lama Bhagavad Gita yang masih terawat dengan baik di rak buku di dekat meja kerjanya. Ia juga kerap memberi cetakan terjemahan Bhagavad Hita sebagai hadiah untuk teman-temannya.

   Tak terbantahkan, Bhagavad Gita sudah jauh memberi pengaruh bagi Oppenheimer, sebelum ia terlibat dengan tes bom atom Trinity. Pada tahun 1963, dalam wawancara dengan majalah Christian Century Oppenheimer menyatakan bahwa Bhagavad Gita adalah salah satu dari sepuluh buku yang berpengaruh dan menentukan arah tindakan filosofi hidupnya –buku-buku lainnya misalnya Hamlet karya Shakespeare dan Waste Land karya T. S. Eliot.

Trinity dan Kutipan Bhagavad Gita


Ledakan tes nuklir Trinity. Foto diambil dari wikimedia
   Pada tanggal 16 Juli 1946, para ilmuwan Los Alamos melakukan ujicoba ledakan nuklir pertama berlokasi di dekat Alamogordo, di tempat dengan codename Trinity. Nama Trinity sendiri diambil dari Sonnet XIV dalam kumpulan puisi karya John Donne (1572-1631) berjudul Holy Sonnets atau dikenal juga dengan judul Divine Meditations atau Divine Sonnets.

   Saat Oppenheimar menyaksikan ledakan dari tes itu, ia terpikir akan suatu ayat dari Bhagavad Gita, dari Bab 11 berjudul Bentuk Universal teks 12. Berikut petikannya:
divi sūrya-sahasrasya bhaved yugapad utthitā yadi bhāḥ sadṛṥī sā syād bhāsas tasya mahāḥmanaḥ 
If the radiance of a thousand suns were to burst at once into the sky, that would be like the splendor of the mighty one ...
Berikut foto dari bagian tersebut yang saya ambil:

Foto oleh penulis. Bhagavad Gita Bagian XI teks 12. 
   Beberapa tahun kemudian, Oppenheimer terpikir bagian lain dari Bhagavad Gita berkaitan dengan ledakan nuklir tersebut. Masih dari Bab 11, kali ini dari teks 32.
sri-bhagavan uvaca
kalo 'smi loka-ksaya-krt pravrddho
lokan samahartum iha pravrttah
rte 'pi tvam na bhavisyanti sarve
ye 'vasthitah pratyanikesu yodhah
The Blessed Lord said: Time I am, destroyer of the worlds, and I have come to engage all people. With the exception of you [the Pandavas], all the soldiers here on both sides will be slain.
Berikut foto dari bagian tersebut yang saya ambil:

Foto oleh penulis. Bhagavad Gita Bagian XI teks 32
   Oppenheimer yang telah membaca Bhagavad Gita dari bahasa Sansekerta asli, menyatakan dengan terjemahan dan penafsirannya: "I am become Death, the destroyer of worlds."
   Pada tahun 1965, Oppenheimer menyatakan hal tersebut pada sebuah siaran televisi.
We knew the world would not be the same. A few people laughed, a few people cried. Most people were silent. I remembered the line from the Hindu scripture, the Bhagavad Gita; Vishnu is trying to persuade the Prince that he should do his duty and, to impress him, takes on his multi-armed form and says, 'Now I am become Death, the destroyer of worlds.' I suppose we all thought that, one way or another.
Berikut videonya:


   Dikutip dari wikipedia Bahasa Indonesia: Bhagavad Gita adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Sri Krishna, personalitas Tuhan Yang Maha Esa adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).
Patung Arjuna Wijaya, menggambarkan Arjuna dan Batara Khrisna sebafai sais. Foto diambil dari  jakartabytrain.com

Epilog, dan Menurut Saya
    Kutipan Oppenheimer tentang nuklir dan "thousands suns" dijadikan referensi judul album band terkenal asal Amerika Serikat, Linkin Park, untuk album keempat mereka, "A Thousand Suns". Selain sebagai judul, frase itu juga muncul di lirik salah satu lagu dalam album tersebut, The Catalyst: "God save us everyone, will we burn inside the fires of a thousand suns?".
Cover album "A Thousands Suns", gambar dari wikimedia.org

    Oppenheimer dan Bhagavad Gita, adalah sebuah kisah yang menarik. Saya setuju dengan pendapat James A. Hijiya: sebagaimana sebuah Teks (Suci), Bhagavad Gita tidak lepas dari interpretasi/tafsiran yang berbeda-beda. Di antara umat Hindu ataupun para akademisi, pun, seorang dengan latar belakang dan riwayat hidup seperti Julius Robert Oppenheimer.

   Dari kisah ini pun, kita dapat mengambil pelajaran dan renungan: tentang tugas, pilihan-pilihan, tentang manusia. Bagaimana menurut anda?

___________________________________
Sumber-sumber:
[1] "The Gita of Robert Oppenheimer" karya James A Hijiya



5 komentar:

  1. Mendengar oppenheimer jadi ingat kimia kuantum

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungan dan apresiasinya.
      Masih banyak hal seperti ini yang saya ketahui, semoga bisa saya tulis dan share.
      :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungan dan apresiasinya.
      Masih banyak hal seperti ini yang saya ketahui, semoga bisa saya tulis dan share.
      :)

      Hapus