Cari Blog Ini

Jumat, 08 Februari 2019

Saya, Skripsi, dan Insan-Insan Theosofi Indonesia

Lambang Theosofi, sumber: wikimedia.org
Apa itu Theosofi?
Theosofi, atau terkadang ditulis sebagai teosofi, adalah sebuah gerakan esoterik yang bermula dari Amerika Serikat sekitar abad 18-19. Tujuan dari gerakan Theosofi adalah:
(1) Membentuk suatu inti dari persaudaraan Universal kemanusiaan, tanpa membedakan ras, kepercayaan, jenis kelamin, kasta, ataupun warna kulit.
(2) Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
(3) Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan menyelidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia.

Istilah theosofi berasal dari bahasa Yunani: theos, yang berarti Tuhan, dan sophia, yang berarti ilmu atau kebijaksanaan. Jadi boleh disebut secara harafiah Theosofi bermakna “kebijaksanaan Ilahi”. Pada saat masa awal organisasi Theosofi bermula, ada perbincangan dari para pendiri apa nama yang akan dipakai sebelum akhirnya nama Theosophical Society diambil, nama-nama yang dipertimbangkan di antaranya: Egyptological Society, Hermetic Society, atau Rosicrucian Society.

Istilah Theosofi sendiri bukan suatu istilah yang belum ada sebelum dipakai organisasi Theosofi. Beberapa yang memakai istilah ini antara lain: Jakob Böhme(1575-1624), seorang filsuf dan mistikus Kristen dari Kerajaan Bohemia; dan George Starkey(1628-1665), atau dikenal juga dengan nama Eirenaeus Philalethes, seorang penulis, praktisi medis, dan alkemis. Salah seorang pendiri Theosofi, H.P Blavatsky, berpendapat istilah theosofi sudah diciptakan oleh “filsuf-filsuf Aleksandria”, menyebut tokoh yang lebih spesifik: oleh filsuf Ammonius Saccas(175-242).
[**Baca juga: Bapak Geometri Euklides, matematikawan misterius yang hidup sekitar abad 4 SM di Aleksandria, Mesir**]

Berdirinya Theosofi
Theosophical Society didirkan pada tahun 1875, di kota New York, Amerika Serikat. Tokoh-tokoh pendirinya di antara lain adalah Helena Petrovna Blavatsky(1831-1891), Henry Steel Olcott(1832-1907), dan William Quan Judge(1851-1896). Pada tahun 1886, H.P.Blavatsky dan H.S.Olcott memindahkan pusat Theosofi ke Adyar, Chennai, India. Secara struktur organisasi, Theosofi di wilayah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan W.Q.Judge berpisah pada tahun 1895.
Patung Blavatsky dan Olcott di Adyar, sumber: wikimedia.org
Secara berturut-turut, Theosofi di Adyar, dipimpin oleh H.P.Blavatsky, H.S.Olcott, lalu oleh Annie Besant(1847-1933). Besant selain seorang teosofis juga seorang aktivis kemerdekaan India, ia menjadi pemeimpin Theosofi saat H.S.Olcott wafat pada tahun 1907. Saat tahun pertama kepemimpinan Besant, Theosofi mengalami pertambahan jumlah anggota yang signifikan, hingga total anggota mencapai 23000-an.

Theosofi di Indonesia
Dikutip dari situs tirto.id: Tokoh Theosofi H.P. Blavatsky pernah berkunjung ke Jawa, pada tahun 1852, lalu pada tahun 1862. Setelah kunjungan Madame Blavatsky, sebagian masyarakat Jawa sudah mulai tertarik dengan Teosofi pada akhir abad ke-19, khususnya di Jawa Tengah.

Gerakan Teosofi pertama di Hindia Belanda dirintis di Pekalongan sekitar tahun 1881, dan dipimpin oleh seorang bangsawan Eropa (Jerman) bernama Baron van Tengnagel. Organisasi ini diakui secara sah oleh Theosophical Society pusat yang waktu itu berkedudukan di Adyar, India. Izinnya ditandatangani langsung oleh H.S. Olcott. Pada tahun 1907, diadakan Konggres Theosofi pertama di Yogyakarta.

Pada April 1912 organisasi Teosofi mandiri di Indonesia resmi didirikan dengan nama Nederlandsch Indische Theosofiche Vereeniging (NITV). Organisasi ini diakui secara sah sebagai cabang ke 20 dengan presidennya D. Van Hinloopen Labberton, yang juga dekat dan menjadi mentor anggota para aktivis Java Studie Fond –yang kelak menjadi Boedi Utomo. Pada 2 November anggaran dasar NITV disetujui pemerintah Hindia Belanda pada 2 November 1912. Dengan demikian NITV menjadi organisasi berbadan hukum dan pusat NITV ditetapkan di Batavia.

Pada 2 April 1920, di Surakarta, gerakan Theosofi mendirikan De Nederlancsch Indische Theosofische Bond voor Opvoeding en Onderwijs atau Perkumpulan Theosofi Hindia-Belanda untuk Pendidikan dan Pengajaran. Para anggota gerakan ini berpengaruh, antara lain, pada pendirian Sekolah Guru Gonoeng Sari (cikal bakal Universitas Pendidikan Bandung) dan Institut Teknologi Bandung. Lembaga ini juga mendirikan Sekolah Arjuna yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Jawa. [**Baca juga: Arjuna dalam Kitab Bhagavad Ghita dan Ilmuwan Nuklir Robert Oppenhgeimer**] 

Beberapa kegiatan Theosofi, antara lain, membantu resotrasi candi Borobudur, memberikan sumbangan dana untuk pencetakan buku-buku Braile, menjadi pelopor perayaan hari Waisak di Candi Borobudur, melakukan propaganda anti madat, dan sebagainya. Tokoh-tokoh Theosofi juga memberikan beasiswa kepada wakil presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, untuk menuntut ilmu ke Belanda. Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, juga  memanfaatkan perpustakaan yang didirikan perkumpulan Theosofi. Dari situs merahputih.com, berikut perkataan Ir.Soekarno yang dikutip sejarawan Peter Kasenda:
"Seluruh waktu kugunakan untuk membaca. Sementara yang lain-lain bermain-main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah. Kami mempunyai perpustakaan yang besar di kota ini yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosofi, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, di mana tidak ada batasnya buat anak seorang miskin. Aku menyelam sama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah penderitaan dasarku."
Beberapa tokoh nasional lain juga mempunyai hubungan dengan gerakan ini. Di antaranya adalah Dr.Radjiman Wedyodiningrat, Haji Agoes Salim, Muhammad Yamin, Sanoesi Pane, Roestam Effendi, Ahmad Soebardjo, Dr.Soetomo, dan Mohammad Tabrani. Ada juga Douwes Dekker, yang secara kultural dekat dengan Gerakan Theosofi.

Beberapa tempat di Indonesia juga dulu dinamai dengan nama tokoh Theosofi, di antarnya Blavatsky Park di Jakarta, Olcott Park di Bandung, dan Annie Besant Square di Semarang. Olcott Park terletak di sekitar Jl. Merdeka yang kini menjadi Mall Bandung Indah Plaza. Blavatsky Park kini menjadi Jalan Merdeka Barat, Jakarta.

Pada masa penjajahan Jepang, kegiatan gerakan ini terhenti. Pada 3 September 1950, konggres Theosofi diadakan lagi, dan memutuskan meneruskan gerakan dengan nama “Perhimpunan Theosofi Tjabang Indonesia” serta mengangkat Seomardji sebagai Sekjen. Pada bulan April 1963, segala organisasai yang berafiliasi dengan pihak luar negeri dilarang di Indonesia, termasuk Theosofi. Pada 31 Juli di tahun yang sama, R. S. Soejatno, S. M. Soesiswo, dan beberapa anggota lain mendirikan organisasi yang tak terkait dengan Theosofi di Adyar, dengan nama Persatuan Warga Theosofi Indonesia, atau disingkat sebagai Perwathin.

Saya dan Theosofi, bermula dari lambang Skripsi
Awalnya, dari lambang Skripsi. Itulah yang mempertemukan saya dengan anggota-anggota Perwathin. Tidak, saya tidak salah menulis “lambang skripsi”, memang demikian maksud saya, bukan bertemu dari “wawancara untuk skripsi” ataupun “riset untuk skripsi”. Saya berlatar belakang pendidikan Sistem Komputer, dan untuk menyelesaikan studi, saya membuat aplikasi komputer untuk Tugas Akhir tingkat sarjana. [**Baca juga: Taman Rusa UNDIP, Hayy bin Yaqdzon, dan Filsafat Illuminasonis**]

Lambang aplikasi yang saya buat saya tampilkan di bagian splash screen aplikasi saya. Splash screen adalah tampilan pertama program yang muncul sementara sebelum masuk masuk ke menu utama. Berikut contoh splash screen, screenshot saya ambil dari aplikasi CorelDRAW X7 yang saya jalankan di laptop saya.

Contoh tampilan splash screen, sumber: screenshot penulis
Karena splash screen CorelDRAW X7 sedikit transparan, anda bisa melihat latar belakang menampakkan sebagian lambang aplikasi yang saya pakai sebagai background picture laptop saya. Berikut lambang aplikasi yang saya buat, yang saya namai “Ourobookros”:
Ourobookros, sumber: instagram penulis
Lambang itu saya modifikasi dari Oroboros, suatu simbol kuno yang berupa naga yang menggigit ekornya sendiri yang melambangkan keabadian atau sesuatu yang secara terus-menerus memperbarui dirinya sendiri. Lambang ini sendiri bagi saya mempunyai beberapa makna, di antaranya ialah harapan agar masa studi saya di Sistem Komputer menjadi salah satu proses pembelajaran yang terus-menerus. [Ouroboros dan Ourobookros sebagai lambang aplikasi komputer? Bila saya berkesempatan, saya akan menulis lebih lanjut mengenai hal ini]
Ouroboros, sumber: wikimedia.org
Kembali ke cerita tentang awal pertemuan. Sekitar akhir Oktober 2018, pada suatu percakapan daring, Saya berkomentar tentang lambang Theosofi. Saya memperlihatkan “Ourobookros” saya, dan menulis bahwa lambang aplikasi tersebut saya modifikasi dari simbol Ouroboros.

Hal itu membuat salah seorang yang ternyata pengurus Perwathin tertarik. Beliau lalu menginformasikan bahwa beliau sedang mempersiapkan Konggres Theosofi ke 55 yang akan dilangsungkan di kota Solo, sekitar pertengahan bulan November 2018. Beliau menawarkan kepada saya, bagaimana kalau saya ikut konggres tersebut sebagai simpatisan(calon anggota)? Saya mengiyakan, menyatakan saya akan ikut Konggres Theosofi sebagai pengamat.

Yang Pertama Berkomentar tentang Ourobookros
Saya berangkat seorang diri, tiba di kota Solo sehari sebelum jadwal konggres dimulai. Memang saya sengaja tiba lebih awal, untuk berkeliling mengitari kota Solo. Tempat yang saya jelajahi di antaranya di sekitar Benteng Vastenburg dan di sekitar bunker kuno zaman Belanda di Balaikota Surakarta. 

Pada hari acara dimulai, saya datang ke lokasi konggres pada siang hari. Belum banyak yang datang di waktu itu. Saya dipersilakan beristirahat sebentar, mandi, dan makan siang. Seusai makan siang, saya mengobrol dengan anggota-anggota yang sudah datang, seingat saya dua anggota berusia setengah baya dan seorang anggota yang sudah sepuh.

Dialog pada waktu itu kebanyakan membicarakan topik sejarah. Di perbincangan tersebut, saya menceritakan diri saya, menjelaskan bahwa baru pertama kali tersebut saya bertemu dengan anggota Theosofi secara tatap muka secara langsung, mengungkapkan bahwa saya diajak oleh salah seorang pengurus Perwathin. Saya menceritakan bahwa saya seorang lulusan Sistem Komputer, dan tentu saja saya memperlihatkan dan menjelaskan lambang Ourobookros yang saya buat untuk Tugas Akhir. Mereka berkomentar “menarik”, namun belum ada perbincangan lanjutan waktu itu mengenai Ourobookros tersebut sampai dialog pertama tersebut berakhir karena para anggota mempunyai kegiatan lain.

Selain itu anggota-anggota (dan simpatisan) lain pun mulai berdatangan. Mereka datang dari berbagai wilayah, mereka terdiri dari bermacam-macam latar belakang. Ada yang berprofesi di bidang pendidikan, pengusaha, pengrajin batik, dan ada yang telah pensiun. Dari perbincangan-perbincangan yang saya lakukan selanjutnya, saya menangkap bahwa mereka adalah orang baik-baik, low profile. Seorang anggota juga kerap menjadi penceramah di masjidnya setempat. Saya pikir, saya bisa menyatakan: mereka adalah orang-orang yang berbeda dari Awkarin.

Di sela-sela jadwal konggres berlangsung, saya kerap berbincang dengan anggota-anggota lain. Salah satunya dengan seorang bapak tua –yang ikut berbincang pada dialog pertama saya. Beliau berbincang dengan saya, dari topik tentang Majapahit hingga tokoh-tokoh nasional. Kami juga melanjutkan bicara tentang Ourobookros. Beliau berkomentar, bagian “buku” pada Ourobookros kurang rapi, juga berpendapat, mengapa naganya tidak membentuk lingkaran secara keseluruhan, melingkari obyek-obyek di dalamnya?

Saya menjawab bahwa bagian “buku” memang kurang rapi karena saya membuat lambang tersebut dalam waktu yang terbatas –secepatnya untuk presentasi aplikasi, seminar, dan sidang Tugas Akhir saya. Soal bentuk, sebenarnya saya merancang bentuk Ourobookros versi pertama agar menyerupai silhouette sebuah lubang kunci –maka, selain bermakna sebagai harapan akan proses pembelajaran yang terus-menerus, Ourobookros juga bermakna sebagai harapan agar studi saya bisa menjadi “Pembuka”.

Di perbincangan itu saya juga mengucapkan terimakasih atas saran beliau. Sebelum beliau sudah banyak yang melihat Ourobookros: guru dan siswa SMA tempat saya mengambil data angket program saya, dosen pembimbing, dosen penguji, teman-teman mahasiswa, juga saudara saya. Dari orang-orang tersebut, beliaulah yang pertama kali berkomentar dan memberi saran. Bukan hal yang aneh sebenarnya, bukan? 🙂

Bila saya berkesempatan melanjutkan jenjang pendidikan pasca sarjana, dalam pikiran saya, Ourobookros sebagai lambang studi saya juga akan berkembang. Naga Ourobookros bisa mencapai bentuk yang lain, menampakkan sayap, tangan, dan tanduknya. Juga –sesuai saran bapak tersebut, bentuknya akan melingkari obyek-obyek di dalamnya. Karena “Pembuka” sudah saya lalui, sehingga silhouette lubang kunci tidak diperlukan lagi. 🙂

Tentang Pelantikan, dan Ouroboros(Lagi)
Sekitar siang hari menjelang senja, pada hari kedua Konggres, saya berbicara dengan pengurus Perwathin yang mengajak saya mengikuti acara ini. Saya matur pada beliau, bahwa setelah melihat-lihat dan menimbang, saya memutuskan untuk tidak dilantik menjadi anggota Perwathin. Saya bilang, “Mungkin (saya dan Perwathin) memang sama-sama membicarakan perihal filsafat, namun fokus saya berbeda.” Beliau bilang, itu tidak apa-apa, dan menyatakan saya dan anggota Theosofi lainnya masih tetap bisa menjalin kontak, bertemu, dan berdialog.

Malam harinya, saya masih berkesempatan mengobrol. Kali ini, dengan seorang bapak tua yang lain, saya juga berbincang tentang Ourobookros. Beliau tidak berkomentar tentang lambang yang saya buat, namun beliau berkomentar soal makan lambang Ouroboros. Bagi beliau, Ouroboros bermakna tentang manusia yang telah menemukan sesuatu yang ia cari. Ular yang menggigit ekornya sendiri, menemukan sesuatu, beliau berpendapat, “Telah aku temukan”.

Soal berpendapat, menurut saya, menghargai pendapat yang berbeda di Theosofi adalah suatu hal yang lumrah dan harus dijaga. Dari serangkaian acara, seorang pengurus bercerita: ada seorang anggota Theosofi yang aktif, namun melakukan kajian sendiri di gedung Perwathin namun membuat kelompok di luar Perwathin. “Ya, silakan saja...” ungkap pengurus Theosofi yang bercerita tersebut. Anggota Theosofi yang lain pun tak mempersalahkan hal itu.

Salah seorang anggota Perwathin menyatakan, “Sing tak senengi Theosofi ki opo, wonge-wonge ra nesunan.” Artinya, “Yang aku sukai dari Theosofi itu apa, orang-orangya tidak mudah sakit hati.” Sakit hati di sini dalam pengertian saat ada anggota lain yang punya pendapat berbeda tentang suatu topik.

Pelantikan anggota baru
“Aduh...kok jadi deg-degan ya, hahaha....” Kalimat itu saya dengar dari salah seorang calon anggota –yang sebentar lagi akan dilantik menjadi anggota. Malam hari kedua, para calon anggota itu berkumpul berbincang dalam suatu kelompok. Sementara saya sendiri berbincang dengan seorang calon anggota yang seperti saya, memilih untuk tidak dilantik.

Saat itu saya berpikir, kisah saya ini mempunyai kemiripan dengan kisah di masa-masa awal saya kuliah. Saat itu, saya sempat mengikuti program mentoring yang diadakan oleh organisasi mahasiswa KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dari GOM atau Grand Opening Mentoring, wawancara dan kegiatan lapangan –seorang senior pernah berkomentar, “Sepertinya kamu tahu soal sejarah dan yang lain.” Pernah juga mentoring dengan kelompok kecil dan seorang kakak pembimbing di Masjid Kampus. Pada akhirnya, saya memilih tidak meneruskan keaktifan di organisasi tersebut. 

Pulang
Selama pelantikan anggota Theosofi berlangung, saya juga menyempatkan membereskan barang bawaan, bersiap untuk pulang bersama anggota Theosofi yang lain. Setelah prosesi pelantikan selesai, saya masih berkesempatan mengobrol lagi dengan anggota-anggota Theosofi, menunggu seorang anggota yang masih mempunyai urusan lain.

Pada tengah malam, hari kedua konggres, saya pulang bersama dua orang anggota Theosofi.


Epilog
Sebelum atau sesudah membaca artikel ini, mungkin anda melihat entri lain di blog ini, berjudul Inisiasi (dan Maknanya), atau melihat video saya di Youtube.


Barangkali pembaca bertanya, apa video itu terinsipirasi dari peristiwa yang saya alami di posingan ini? Jawabannya: tidak. Video Inisiasi sudah saya buat lalu saya upload tanggal 17 Januari 2018, sebelum saya mengikuti konggres Theosofi. Inspirasi video tersebut tentu datang lebih awal sebelum saya membuatnya.

[**Baca juga entri lain di blog ini tentang inisiasi: Apuleius, Sang Pengembara Kelompok Misteri Rahasia KunoINISIASI, Sebuah Sajak FilsafatReview Occult Forces, Film NAZI bertema Propaganda anti-Freemason **]

10 komentar:

  1. Mungkin kedepan ane bakal sering mampir dimari deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu gan :D Selamat agan pertamax di bagian komen entri ini :D

      Hapus
  2. Artikel yg menarik...saya suka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih telah berkunjung dan terimakasih atas apresiasinya :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungannya & terimakasih atas apresiasinya :)

      Hapus
  4. Adakah sosial media untuk thesofi atau kontak yang bisa di hubungi

    BalasHapus
  5. Tulisan yang menarik. Membuka wawasan banget. Baru kali ini saya tahu tentang komunitas theosofi di Indonesia. Thank, Mas.

    BalasHapus
  6. Bagus artikel nya, sangat menarik

    BalasHapus