Poster acara "Belok Kiri ke Turki" |
[Di Balik Review]
Saya mengetahui adanya acara
“Belok Kiri ke Turki” pertama kali dari halaman facebook Buletin Sastra Pawon. Tak
berselang lama, saat melihat linimasa twitter Mas Bernando J Sujibto –salah
satu pembicara acara tersebut terdapat juga status beliau yang menginformasikan
acara “Belok Kiri ke Turki.” Tak butuh banyak pertimbangan, saya segera
menyiapkan diri untuk mengikuti acara tersebut.
Dari Semarang, saya sengaja datang
ke Solo beberapa jam sebelum jadwal dimulainya acara, pada pukul empat sore.
Empat jam sebelum pukul delapan malam, saya manfaatkan berkeliling di Solo,
termasuk berbuka puasa di daerah Pasar Legi. Setelah berbuka puasa, saya beristirahat
duduk-duduk di Monumen 45 Banjarsari, tempat yang hanya beberapa langkah dengan
lokasi acara Rumah Banjarsari.
Sekitar pukul delapan malam saya
menuju Rumah Banjarsari. Di sana saya berjumpa dengan kenalan-kenalan baru,
termasuk penulis dan punggawa sastra Mas Yudhi Herwibowo. Mas Yudhi adalah penulis
yang produktif, beliau telah menerbitkan puluhan buku dengan beragam macam
genre, juga telah menulis banyak cerpen untuk berbagai media.
Sampai setengah jam, karena ada
beberapa halangan diskusi “Belok Kiri ke Turki” belum bisa dimulai. Tapi keterlambatan
tersebut bukan sebuah kekekecewaan untuk saya, karena saya bisa memanfaatkannya
untuk lebih banyak mengobrol berbagai macam hal dengan Mas Yudhi Herwibowo. Saya
beruntung bisa menimba ilmu tentang dunia sastra dan penerbitan dari Mas Yudhi.
Saya duduk di samping kiri Mas Yudhi Herwibowo yang berbaju putih. Sumber: @rumahbanjarsari |
Setelah pengenalan pembicara, sesi selanjutnya adalah pembacaan dua puisi dari buku berjudul “Raksasa Bermata Biru”. Kemudian dilanjutkan pembahasan oleh pembicara, tentang sosok Nazim Hikmet, latarbelakang sosial dan perjalanan hidupnya, dan tentu puisi-puisinya. Setelah diskusi selesai, saya berkenalan dengan Mas Bernando J Sujibto –yang kemudian saya panggil Mas Beje– sekaligus mengajukan buku “Raksasa Bermata Biru” saya untuk dibubuhkan tandatangan Mas Beje.
Saya beruntung bisa berbincang-bincang
secara pribadi lebih lanjut dengan Mas Beje. Dari topik Nazim Hikmet berlanjut
ke topik lain, untuk menyebut beberapa: Turki, Utsmaniyah, Abbasiyah yang lebih
unggul dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dibanding Utsmaniyah, Yanisari
dan Haji Bektash Veli.
Saya juga mendiskusikan tentang
draft tulisan yang telah saya buat. Draft tulisan tersebut –menurut pendapat Mas
Beje juga– memiliki topik tidak banyak dibahas dan “aneh” dalam dunia sastra
Indonesia, beberapa topik tersebut misalnya: manusia sempurna, awal mula
semesta dan bilangan sempurna. Mas Beje
berpendapat: (1) kemampuan menulis sastra saya masih kurang sehingga
perlu dilatih; atau, (2) saya bisa melanjutkan draft tersebut dalam bentuk
karya tulis ilmiah.
[Review]
Sampul depan "Raksasa Bermata Biru" |
*Lipatan di bagian kanan bawah buku bukan kesalahan penerbit, namun kecerobohan saya saat membawa buku tersebut dalam perjalanan pulang dari Solo*
Judul
: Raksasa Bermata
Biru
Penulis
: Nazim Hikmet
Penerjemah
: Bernando J. Sujibto (@_bje)
Editor :
Reza Nufa (@rezanufa)
Penerbit
: BASABASI (@basabasi_store)
ISBN
:
978-602-5783-48-7
Paperback, 132 halaman
Coba anda bayangkan: seorang
pejabat Indonesia, saat peresmian renovasi sebuah masjid bersejarah, bertanya
dengan gaya bercanda, “Apakah benar Si penyair PKI itu menulis puisi tentang
masjid ini?” Kurang lebih seperti itulah pertanyaan untuk Nazim Hikmet, seandainya
Nazim Hikmet adalah orang Indonesia –yang turut bergabung menjadi anggota PKI.
Di Turki, Nazim Hikmet lebih
dikenal masyarakat awam sebagai penyair komunis, sementara sisi lain dari
dirinya tidak banyak diketahui. Sosok Nazim Hikmet mengingatkan saya akan Tan
Malaka, yang menurut pengalaman pribadi saya, belum banyak masyarakat umum
Indonesia yang mengetahui profil manusia dengan banyak dimensi tersebut.
Nazim Hikmet. Sumber gambar: http://kamiel.creativechoice.org |
Nazim Hikmet, lahir pada tanggal
15 Januari 1902. Keluarganya termasuk kelompok terpandang. Kakek dan ayahnya
adalah seorang pejabat Utsmani. Ibunya adalah seorang pelukis perempuan pertama
Turki, yang sempat belajar melukis ke Prancis. Nazim Hikmet pernah bergabung
menjadi pasukan Perjuangan Nasional, namun ia tidak sampai diutus ke garis
depan pertempuran.
Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Uni
Soviet untuk belajar di universitas pelatihan kader bernama The Communist University of Toilers of the
East (KUTV). Setelah kembali ke negerinya pada tahun 1928, Nazim Hikmet
tidak jarang menghabiskan hidupny dari penjara ke penjara, dengan tuduhan yang
kerap muncul adalah provokasi komunisme dan membangun organisasi komunis
rahasia. Nazim Hikmet wafat pada usia 61 tahun di Moskow, Uni Soviet. [ Anda dapat membaca profil Nazim Hikmet yang ditulis oleh Mas
Beje di situs basabasi.co: Mengenal Nazim Hikmet, Si Komunis Romantis dari Turki]
Berkelak-keloknya perjalanan
hidup Nazim Hikmet, tercermin pada beragam tema puisinya. Buku ini memakai judul "Raksasa Bermata Biru", sebutan Nazim Hikmet untuk dirinya sendiri –yang juga merupakan judul salah satu puisi Nazim Hikmet. Pada buku ini, Mas Beje mengelompokkan puisi-puisi Nazim Hikmet ke dalam tiga
bagian, berdasarkan tema: (1) sosialisme dan spirit kemanusiaan, seperti lebih
dikenal oleh publik internasional; (2) romantisme; dan (3) religius dan
spiritual. [ Anda dapat membaca beberapa sajak Nazim Hikmet
yang ditulis oleh Mas Beje di situs basabasi.co: Sajak-sajak Terjemahan Karya Nazim Hikmet]
Membaca kumpulan puisi Nazim
Hikmet, untuk memahami apa yang ingin disampaikan pada puisi, bagi saya sendiri
hanya bisa dilakukan secara perlahan. Selain itu, saya juga harus mengecek
tahun puisi dibuat, apa yang terjadi pada Nazim Hikmet pada tahun tersebut.
Puisi yang paling menarik bagi saya adalah puisi berjudul “Balada Mereka
Peminum Matahari”, yang dibuat pada tahun 1924. Saya sampai googling cukup lama tentang puisi yang
dalam bahasa Inggris berjudul “Song of the Sun-drinkers” –judul ini ternyata
menjadi judul buku kumpulan puisi Nazim yang Hikmet yang pertama kaliditerbitkan, pada tahun 1928. Apa makna yang terkandung di sajak tersebut? Saya
sendiri juga belum menangkapnya dengan jelas. :)
“Raksasa Bermata Biru” menurut
saya adalah buku yang layak dikoleksi. Terlebih, bila anda ingin lebih membuka
wawasan dan mendalami kesusatraan Turki. Menurut saya, pengelompokkan puisi
berdasarkan tema merupakan keputusan yang bagus karena akan membantu kita
memahami dan meresapi karya si penulis.
Sampul belakang "Raksasa Bermata Biru" |
Sedikit saran untuk penerbit bila
buku ini akan diterbitkan ulang: pada bagian belakang, akan lebih bagus bila
testimoni berbahasa Turki turut juga ditulis dengan bahasa Indonesia, sehingga
calon pembaca akan paham apa maksud testimoni tersebut. Saya sendiri sempat berbincang dengan Mas Beje
soal testimoni tersebut, beliau berkata testimoni ditulis dalam bahasa Turki
agar lebih kental rasa ke-Turki-annya. Bila testimoni di sampul belakang
ditulis dalam dua bahasa sekaligus, saya kira masih cukup tempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar