Cari Blog Ini

Kamis, 13 Juni 2019

[Review] Belok Kiri, Belok Kanan, Menelusuri Raksasa Bermata Biru

Poster acara "Belok Kiri ke Turki"

[Di Balik Review]

Saya mengetahui adanya acara “Belok Kiri ke Turki” pertama kali dari halaman facebook Buletin Sastra Pawon. Tak berselang lama, saat melihat linimasa twitter Mas Bernando J Sujibto –salah satu pembicara acara tersebut terdapat juga status beliau yang menginformasikan acara “Belok Kiri ke Turki.” Tak butuh banyak pertimbangan, saya segera menyiapkan diri untuk mengikuti acara tersebut.

Dari Semarang, saya sengaja datang ke Solo beberapa jam sebelum jadwal dimulainya acara, pada pukul empat sore. Empat jam sebelum pukul delapan malam, saya manfaatkan berkeliling di Solo, termasuk berbuka puasa di daerah Pasar Legi. Setelah berbuka puasa, saya beristirahat duduk-duduk di Monumen 45 Banjarsari, tempat yang hanya beberapa langkah dengan lokasi acara Rumah Banjarsari.

Sekitar pukul delapan malam saya menuju Rumah Banjarsari. Di sana saya berjumpa dengan kenalan-kenalan baru, termasuk penulis dan punggawa sastra Mas Yudhi Herwibowo. Mas Yudhi adalah penulis yang produktif, beliau telah menerbitkan puluhan buku dengan beragam macam genre, juga telah menulis banyak cerpen untuk berbagai media.

Sampai setengah jam, karena ada beberapa halangan diskusi “Belok Kiri ke Turki” belum bisa dimulai. Tapi keterlambatan tersebut bukan sebuah kekekecewaan untuk saya, karena saya bisa memanfaatkannya untuk lebih banyak mengobrol berbagai macam hal dengan Mas Yudhi Herwibowo. Saya beruntung bisa menimba ilmu tentang dunia sastra dan penerbitan dari Mas Yudhi.
Saya duduk di samping kiri Mas Yudhi Herwibowo yang berbaju putih. Sumber: @rumahbanjarsari
Acara diskusi dimulai dengan perkenalan para pembicara. Pembicara utama, Bernando J Sujibto, penerjemah buku kumpulan puisi Nazim Hikmet “Raksasa Bermata Biru” adalah seorang lulusan Sosiologi dari Universitas Selcuk, Turki. Beliau adalah  penulis yang kaya akan pengalaman dan hasilkarya: berbagai karyanya dimuat di berbagai media, beliau juga telah menerbitkan berbagai buku. Beliau sudah mulai menulis sejak masa kecil, pada kelas tiga MTs puisi beliau dimuat di rubrik “Cermin” majalah sastra Horison.



Setelah pengenalan pembicara, sesi selanjutnya adalah pembacaan dua puisi dari buku berjudul “Raksasa Bermata Biru”. Kemudian dilanjutkan pembahasan oleh pembicara, tentang sosok Nazim Hikmet, latarbelakang sosial dan perjalanan hidupnya, dan tentu puisi-puisinya. Setelah diskusi selesai, saya berkenalan dengan Mas Bernando J Sujibto –yang kemudian saya panggil Mas Beje– sekaligus mengajukan buku “Raksasa Bermata Biru” saya untuk dibubuhkan tandatangan Mas Beje.

Saya beruntung bisa berbincang-bincang secara pribadi lebih lanjut dengan Mas Beje. Dari topik Nazim Hikmet berlanjut ke topik lain, untuk menyebut beberapa: Turki, Utsmaniyah, Abbasiyah yang lebih unggul dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dibanding Utsmaniyah, Yanisari dan Haji Bektash Veli.

Saya juga mendiskusikan tentang draft tulisan yang telah saya buat. Draft tulisan tersebut –menurut pendapat Mas Beje juga– memiliki topik tidak banyak dibahas dan “aneh” dalam dunia sastra Indonesia, beberapa topik tersebut misalnya: manusia sempurna, awal mula semesta dan bilangan sempurna. Mas Beje  berpendapat: (1) kemampuan menulis sastra saya masih kurang sehingga perlu dilatih; atau, (2) saya bisa melanjutkan draft tersebut dalam bentuk karya tulis ilmiah.


[Review]

Sampul depan "Raksasa Bermata Biru"
*Lipatan di bagian kanan bawah buku bukan kesalahan penerbit, namun kecerobohan saya saat membawa buku tersebut dalam perjalanan pulang dari Solo*

Judul                    : Raksasa Bermata Biru
Penulis                 : Nazim Hikmet
Penerjemah         : Bernando J. Sujibto (@_bje)
Editor                   : Reza Nufa (@rezanufa)
Penerbit               : BASABASI (@basabasi_store)
ISBN                    : 978-602-5783-48-7
Paperback, 132 halaman

Coba anda bayangkan: seorang pejabat Indonesia, saat peresmian renovasi sebuah masjid bersejarah, bertanya dengan gaya bercanda, “Apakah benar Si penyair PKI itu menulis puisi tentang masjid ini?” Kurang lebih seperti itulah pertanyaan untuk Nazim Hikmet, seandainya Nazim Hikmet adalah orang Indonesia –yang turut bergabung menjadi anggota PKI.

Di Turki, Nazim Hikmet lebih dikenal masyarakat awam sebagai penyair komunis, sementara sisi lain dari dirinya tidak banyak diketahui. Sosok Nazim Hikmet mengingatkan saya akan Tan Malaka, yang menurut pengalaman pribadi saya, belum banyak masyarakat umum Indonesia yang mengetahui profil manusia dengan banyak dimensi tersebut.

Nazim Hikmet. Sumber gambar: http://kamiel.creativechoice.org

Nazim Hikmet, lahir pada tanggal 15 Januari 1902. Keluarganya termasuk kelompok terpandang. Kakek dan ayahnya adalah seorang pejabat Utsmani. Ibunya adalah seorang pelukis perempuan pertama Turki, yang sempat belajar melukis ke Prancis. Nazim Hikmet pernah bergabung menjadi pasukan Perjuangan Nasional, namun ia tidak sampai diutus ke garis depan pertempuran.

Pada usia 19 tahun, ia pergi ke Uni Soviet untuk belajar di universitas pelatihan kader bernama The Communist University of Toilers of the East (KUTV). Setelah kembali ke negerinya pada tahun 1928, Nazim Hikmet tidak jarang menghabiskan hidupny dari penjara ke penjara, dengan tuduhan yang kerap muncul adalah provokasi komunisme dan membangun organisasi komunis rahasia. Nazim Hikmet wafat pada usia 61 tahun di Moskow, Uni Soviet. [ Anda dapat membaca profil Nazim Hikmet yang ditulis oleh Mas Beje di situs basabasi.co: Mengenal Nazim Hikmet, Si Komunis Romantis dari Turki

Berkelak-keloknya perjalanan hidup Nazim Hikmet, tercermin pada beragam tema puisinya. Buku ini memakai judul "Raksasa Bermata Biru", sebutan Nazim Hikmet untuk dirinya sendiri –yang juga merupakan judul salah satu puisi Nazim Hikmet. Pada buku ini, Mas Beje mengelompokkan puisi-puisi Nazim Hikmet ke dalam tiga bagian, berdasarkan tema: (1) sosialisme dan spirit kemanusiaan, seperti lebih dikenal oleh publik internasional; (2) romantisme; dan (3) religius dan spiritual. [ Anda dapat membaca beberapa sajak Nazim Hikmet yang ditulis oleh Mas Beje di situs basabasi.co: Sajak-sajak Terjemahan Karya Nazim Hikmet]

Membaca kumpulan puisi Nazim Hikmet, untuk memahami apa yang ingin disampaikan pada puisi, bagi saya sendiri hanya bisa dilakukan secara perlahan. Selain itu, saya juga harus mengecek tahun puisi dibuat, apa yang terjadi pada Nazim Hikmet pada tahun tersebut. Puisi yang paling menarik bagi saya adalah puisi berjudul “Balada Mereka Peminum Matahari”, yang dibuat pada tahun 1924. Saya sampai googling cukup lama tentang puisi yang dalam bahasa Inggris berjudul “Song of the Sun-drinkers” –judul ini ternyata menjadi judul buku kumpulan puisi Nazim yang Hikmet yang pertama kaliditerbitkan, pada tahun 1928. Apa makna yang terkandung di sajak tersebut? Saya sendiri juga belum menangkapnya dengan jelas. :)

“Raksasa Bermata Biru” menurut saya adalah buku yang layak dikoleksi. Terlebih, bila anda ingin lebih membuka wawasan dan mendalami kesusatraan Turki. Menurut saya, pengelompokkan puisi berdasarkan tema merupakan keputusan yang bagus karena akan membantu kita memahami dan meresapi karya si penulis.
Sampul belakang "Raksasa Bermata Biru"

Sedikit saran untuk penerbit bila buku ini akan diterbitkan ulang: pada  bagian belakang, akan lebih bagus bila testimoni berbahasa Turki turut juga ditulis dengan bahasa Indonesia, sehingga calon pembaca akan paham apa maksud testimoni tersebut.  Saya sendiri sempat berbincang dengan Mas Beje soal testimoni tersebut, beliau berkata testimoni ditulis dalam bahasa Turki agar lebih kental rasa ke-Turki-annya. Bila testimoni di sampul belakang ditulis dalam dua bahasa sekaligus, saya kira masih cukup tempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar