Mendengar kata matematikawan, apa yang
muncul di pikiran anda? Mungkin: “Seseorang dengan tampang culun dan tak
menarik, menghabiskan waktunya di ruangan yang penuh dengan buku dan catatan hitungan.
Seseorang yang kisah hidupnya membosankan untuk disimak, sama membosankannya bila
harus mendalami ilmu matematika itu sendiri.”
Boleh jadi, demikianlah pandangan
banyak orang. Ditambah dengan pelajaran semasa sekolah yang jarang –atau
mungkin tidak pernah– menyinggung riwayat matematikawan, menyebabkan orang belum
tahu bila ternyata ada beberapa matematikawan dengan lika-liku hidup yang menarik
untuk disimak. Salah satunya adalah René Descartes.
Di materi pelajaran sekolah, kita
telah mengenal sistem koordinat Kartesius. Kartesius–Descartes, dua nama yang
kedengarannya mirip? Wajar, karena nama sistem koordinat Kartesius diambil dari
nama latin René Descartes: Renatus Cartesius. Descartes mempublikasikan
pemikirannya tentang sistem koordinat ini pada tahun 1637.
Selain sistem koordinat Kartesius di
bidang geometri analisis, Descartes juga turut berjasa mengembangkan kalkulus. Bukan
hanya matematika, Descartes juga dikenal sebagai seorang filsuf yang telah berkontribusi di bidang tersebut. "Aku
berpikir maka aku ada” atau dalam bahasa Latin "Cogito, ergo sum" adalah hasil pemikiran filsafat Descartes yang terkenal. Cogito ergo sum sendiri pertama kali diungkapkan pada karya René Descartes yang berjudul Discourse on the Method
Sistem Koordinat Kartesius. Sumber gambar: wikimedia.org/ |
Kisah Hidup René Descartes
Descartes kecil sering sakit-sakitan,
menderita batuk kering turunan ibunya. Ia dikenal sebagai sosok pendiam dan
kutu buku. Pada usia sepuluh tahun, ia masuk ke sekolah Jesuit di La Fleche, ia
belajar logika, etika, metafisik, sejarah, dan berbagai macam bahasa: Latin, Yunani,
dan bahasa Eropa lainnya. Ia kembali ke rumah pada usia 18 tahun, dan setelah
beberapa bulan mendalami hukum di Universitas Poiters. Ia lulus setelah
menempuh masa studi dua tahun. Namun setelah lulus, ia memilih berpetualang,
berjudi, bertindak sesuka kemauan.
Keadaan itu berubah saat ia berusia 22
tahun. Descartes memutuskan menjadi prajurit pada tahun 1618, saat dimulainya
Perang Tiga Puluh Tahun. Perang Tiga Puluh Tahun sendiri berawal sebagai perang
agama, konflik antara Katolik Roma dan para pemeluk Protestan yang bermula di
wilayah Bohemia. Perang tersebut berkembang menjadi persaingan politik yang
melibatkan banyak pihak, untuk menyebut beberapa: Kekasiaran Romawi Suci,
Hungaria, Kerajaan Spanyol, Swedia, Prancis, Denmark-Norwegia, Ottoman dan
Ketsaran Rusia juga turut ambil bagian. Beberapa pihak mengubah status dan
aliansi mereka, seperti Prancis dan Denmark-Norwegia.
[Baca juga tulisan saya di situs KaryaKarsa: Sejarah "Les Grandes Misères de la guerre", lukisan tentang konflik Agama dan Politik Perang 30 Tahun Eropa]
[Baca juga tulisan saya di situs KaryaKarsa: Sejarah "Les Grandes Misères de la guerre", lukisan tentang konflik Agama dan Politik Perang 30 Tahun Eropa]
Descartes, meskipun dididik secara
Katolik-Jesuit, pada awalnya bergabung dengan pasukan seorang Pangeran
Protestan, Mauricie dari Nassau. Di Breda, Descartes belajar –dan kemudian juga
mengajar– kemiliteran. Tahun pertamanya sebagai prajurit lebih ia habiskan
untuk belajar-mengajar daripada bertempur secara langsung.
Pada tahun 1619, Descartes berubah
berpihak kepada Duke Katolik Maximillian dari Bavaria. Tidak diketahui pasti
alasan keputusannya tersebut. Ada yang menyebut karena ia kesal dengan konflik
internal “Persatuan Provinsi-Provinsi Belanda”. Ada yang menyebut juga, sejak
awal Descartes menjadi mata-mata saat berpihak pada Mauricie dari Nassau. Pada
sebuah pertempuran di Prague, ia selamat meski setengah pasukan lain terbunuh.
Descartes turut terjun di Pertempuran Gunung Putih pada November
1920, dengan kemenangan Kaisar Romawi Suci dan sekutu Katolik mereka. Kemenangan
perang membuat Descartes mendapat kekayaan yang cukup banyak. Tidak lama
setelah pertempuran tersebut, Descartes berhenti menjadi tentara. Tahun 1622 ia
kembali ke Paris, namun karena epidemi dan pemberontakan penganut Calvinist
Protestan Huguenot, ia meninggalkan Prancis menuju Belanda.
Battle of White Mountain, lukisan karya P. Snaijers. Sumber: wikimedia.org |
Dalam perjalanan menuju Belanda
menggunakan perahu, Desartes pergi dengan seorang pembantu, berbeda dengan
kebanyakan orang kaya pada masa itu yang saat berpergian dikawal beberapa
orang. Melihat hal tersebut, awak perahu berencana merampok dan membunuh
Descartes. Mereka yang mengira Descartes tidak mengerti bahasa Belanda, membicarakan
rencana itu dengan bahasa Belanda.
Menghadapi situasi tersebut, Descartes
menunggu di saat yang tepat, Descartes menghunus pedangnya dan menerkam salah
satu awak kapal, menyereretnya ke sisi kapal, dan meletakkan ujung pedang ke
tenggorokan awak tersebut. Dengan bahasa Belanda, Descartes bilang ia paham
semua yang dikatakan para awak kapal. Descartes menyatakan, ia lelah dan penat
dengan perang namun tidak keberatan bila harus membunuh tiap awak kapal, dan
menyuruh awak kapal melanjutkan perjalanan.
Descartes menghabisakan sebagian besar
masa hidupnya, selama sekitar 28 tahun selanjutnya di Belanda. Pada tahun 1649,
ia meneriwa tawaran untuk menjadi pengajar privat Ratu Christina dari Swedia.
Pada tahun 1650, Descartes meninggal, diduga disebabkan pneumonia karena udara
dingin Skandinavia dan waktu mengajar yang kebanyakan dilaksanakan pada hari.
Dugaan lain, Descartes meninggal karena dibunuh.
Epilog
Di atas telah ditulis bahwa ada
beberapa matematikawan dengan lika-liku hidup yang menarik untuk disimak.
Selain Descartes, misalnya, ada Evariste Galois (1811-1832), matematikawan yang
meninggal dunia karena berduel dengan pedang.
Ada juga Niccolò Fontana Tartaglia, yang mengalami kejadian pembantaian terhadap penduduk Brescia pada Perang Liga Cambrai atau Perang Liga Suci (1508-1516) oleh pasukan Louis XII dari Prancis. Pasukan Prancis menyerbu gereja tempat Tartaglia dan keluarganya berlindung, mengiris rahang dan bagian atas mulut Tartaglia. Tartaglia berhasil selamat, dan dikemudian hari ia menumbuhkan jenggot untuk menutupi luka dari tentara Prancis tersebut.
Atau Nasiruddin al-Tusi, yang bergabung dengan gerakan Hassasin pimpinan Hasan i-Sabbah. Saat markas Hassasin dihancurkan pasukan Mongol, kepintarannya tetap dihargai, Hulegu pemimpin Mongol engangkatnya menjadi penasihat ilmu pengetahuan, juga mengizinkan al-Tusi meneruskan karya-karyanya, termasuk membantunya membangun observatorium di Maragheh.
Ada juga Niccolò Fontana Tartaglia, yang mengalami kejadian pembantaian terhadap penduduk Brescia pada Perang Liga Cambrai atau Perang Liga Suci (1508-1516) oleh pasukan Louis XII dari Prancis. Pasukan Prancis menyerbu gereja tempat Tartaglia dan keluarganya berlindung, mengiris rahang dan bagian atas mulut Tartaglia. Tartaglia berhasil selamat, dan dikemudian hari ia menumbuhkan jenggot untuk menutupi luka dari tentara Prancis tersebut.
Atau Nasiruddin al-Tusi, yang bergabung dengan gerakan Hassasin pimpinan Hasan i-Sabbah. Saat markas Hassasin dihancurkan pasukan Mongol, kepintarannya tetap dihargai, Hulegu pemimpin Mongol engangkatnya menjadi penasihat ilmu pengetahuan, juga mengizinkan al-Tusi meneruskan karya-karyanya, termasuk membantunya membangun observatorium di Maragheh.
Sumber
Referensi:
Ensiklopedi Matematika, karya
Abdul Halim Fathani, Penerbit Ar-Ruzz Media [**Saya menulis review buku ini di sini**]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar