Cari Blog Ini

Minggu, 02 Juni 2019

René Descartes (Pencipta Koordinat Kartesius) di Antara Konflik Agama & Negara Eropa

Mendengar kata matematikawan, apa yang muncul di pikiran anda? Mungkin: “Seseorang dengan tampang culun dan tak menarik, menghabiskan waktunya di ruangan yang penuh dengan buku dan catatan hitungan. Seseorang yang kisah hidupnya membosankan untuk disimak, sama membosankannya bila harus mendalami ilmu matematika itu sendiri.”

Boleh jadi, demikianlah pandangan banyak orang. Ditambah dengan pelajaran semasa sekolah yang jarang –atau mungkin tidak pernah– menyinggung riwayat matematikawan, menyebabkan orang belum tahu bila ternyata ada beberapa matematikawan dengan lika-liku hidup yang menarik untuk disimak. Salah satunya adalah René Descartes.


René Descartes, sumber gambar: wikimedia.org
Pemikiran René Descartes
Di materi pelajaran sekolah, kita telah mengenal sistem koordinat Kartesius. Kartesius–Descartes, dua nama yang kedengarannya mirip? Wajar, karena nama sistem koordinat Kartesius diambil dari nama latin René Descartes: Renatus Cartesius. Descartes mempublikasikan pemikirannya tentang sistem koordinat ini pada tahun 1637.

Selain sistem koordinat Kartesius di bidang geometri analisis, Descartes juga turut berjasa mengembangkan kalkulus. Bukan hanya matematika, Descartes juga dikenal sebagai seorang filsuf yang telah berkontribusi di bidang tersebut. "Aku berpikir maka aku ada” atau dalam bahasa Latin "Cogito, ergo sum" adalah hasil pemikiran filsafat Descartes yang terkenal. Cogito ergo sum sendiri pertama kali diungkapkan pada karya René Descartes yang berjudul Discourse on the Method
Sistem Koordinat Kartesius. Sumber gambar: wikimedia.org/

Kisah Hidup René Descartes
René Descartes lahir pada 31 Maret 1596 pada Haye en Touraine (sekarang bernama Descartes, Indre-et-Loire). Ayahnya bernama Joachim, seorang anggota Parlemen Brittany di Rennes. Ibunya, yang bernama Jeanne Brochard, meninggal beberapa hari setelah melahirkan Descartes. Ia mempunyai dua kakak –laki-laki dan perempuan. Keluarga Descartes yang menganut Katolik-Roma, tinggal di wilayah Poitou yang dikuasai oleh kelompok Protestan Huguenots.

Descartes kecil sering sakit-sakitan, menderita batuk kering turunan ibunya. Ia dikenal sebagai sosok pendiam dan kutu buku. Pada usia sepuluh tahun, ia masuk ke sekolah Jesuit di La Fleche, ia belajar logika, etika, metafisik, sejarah, dan berbagai macam bahasa: Latin, Yunani, dan bahasa Eropa lainnya. Ia kembali ke rumah pada usia 18 tahun, dan setelah beberapa bulan mendalami hukum di Universitas Poiters. Ia lulus setelah menempuh masa studi dua tahun. Namun setelah lulus, ia memilih berpetualang, berjudi, bertindak sesuka kemauan.

Keadaan itu berubah saat ia berusia 22 tahun. Descartes memutuskan menjadi prajurit pada tahun 1618, saat dimulainya Perang Tiga Puluh Tahun. Perang Tiga Puluh Tahun sendiri berawal sebagai perang agama, konflik antara Katolik Roma dan para pemeluk Protestan yang bermula di wilayah Bohemia. Perang tersebut berkembang menjadi persaingan politik yang melibatkan banyak pihak, untuk menyebut beberapa: Kekasiaran Romawi Suci, Hungaria, Kerajaan Spanyol, Swedia, Prancis, Denmark-Norwegia, Ottoman dan Ketsaran Rusia juga turut ambil bagian. Beberapa pihak mengubah status dan aliansi mereka, seperti Prancis dan Denmark-Norwegia.

[Baca juga tulisan saya di situs KaryaKarsa: Sejarah "Les Grandes Misères de la guerre", lukisan tentang konflik Agama dan Politik Perang 30 Tahun Eropa]

Descartes, meskipun dididik secara Katolik-Jesuit, pada awalnya bergabung dengan pasukan seorang Pangeran Protestan, Mauricie dari Nassau. Di Breda, Descartes belajar –dan kemudian juga mengajar– kemiliteran. Tahun pertamanya sebagai prajurit lebih ia habiskan untuk belajar-mengajar daripada bertempur secara langsung.

Pada tahun 1619, Descartes berubah berpihak kepada Duke Katolik Maximillian dari Bavaria. Tidak diketahui pasti alasan keputusannya tersebut. Ada yang menyebut karena ia kesal dengan konflik internal “Persatuan Provinsi-Provinsi Belanda”. Ada yang menyebut juga, sejak awal Descartes menjadi mata-mata saat berpihak pada Mauricie dari Nassau. Pada sebuah pertempuran di Prague, ia selamat meski setengah pasukan lain terbunuh.

Descartes turut terjun  di Pertempuran Gunung Putih pada November 1920, dengan kemenangan Kaisar Romawi Suci dan sekutu Katolik mereka. Kemenangan perang membuat Descartes mendapat kekayaan yang cukup banyak. Tidak lama setelah pertempuran tersebut, Descartes berhenti menjadi tentara. Tahun 1622 ia kembali ke Paris, namun karena epidemi dan pemberontakan penganut Calvinist Protestan Huguenot, ia meninggalkan Prancis menuju Belanda.
Battle of White Mountain, lukisan karya P. Snaijers. Sumber: wikimedia.org

Dalam perjalanan menuju Belanda menggunakan perahu, Desartes pergi dengan seorang pembantu, berbeda dengan kebanyakan orang kaya pada masa itu yang saat berpergian dikawal beberapa orang. Melihat hal tersebut, awak perahu berencana merampok dan membunuh Descartes. Mereka yang mengira Descartes tidak mengerti bahasa Belanda, membicarakan rencana itu dengan bahasa Belanda.

Menghadapi situasi tersebut, Descartes menunggu di saat yang tepat, Descartes menghunus pedangnya dan menerkam salah satu awak kapal, menyereretnya ke sisi kapal, dan meletakkan ujung pedang ke tenggorokan awak tersebut. Dengan bahasa Belanda, Descartes bilang ia paham semua yang dikatakan para awak kapal. Descartes menyatakan, ia lelah dan penat dengan perang namun tidak keberatan bila harus membunuh tiap awak kapal, dan menyuruh awak kapal melanjutkan perjalanan.

Descartes menghabisakan sebagian besar masa hidupnya, selama sekitar 28 tahun selanjutnya di Belanda. Pada tahun 1649, ia meneriwa tawaran untuk menjadi pengajar privat Ratu Christina dari Swedia. Pada tahun 1650, Descartes meninggal, diduga disebabkan pneumonia karena udara dingin Skandinavia dan waktu mengajar yang kebanyakan dilaksanakan pada hari. Dugaan lain, Descartes meninggal karena dibunuh. 
 
   
Epilog
Di atas telah ditulis bahwa ada beberapa matematikawan dengan lika-liku hidup yang menarik untuk disimak. Selain Descartes, misalnya, ada Evariste Galois (1811-1832), matematikawan yang meninggal dunia karena berduel dengan pedang.
Ada juga Niccolò Fontana Tartaglia, yang mengalami kejadian pembantaian terhadap penduduk Brescia pada Perang Liga Cambrai atau Perang Liga Suci (1508-1516) oleh pasukan Louis XII dari Prancis. Pasukan Prancis menyerbu gereja tempat Tartaglia dan keluarganya berlindung, mengiris rahang dan bagian atas mulut Tartaglia. Tartaglia berhasil selamat, dan dikemudian hari ia menumbuhkan jenggot untuk menutupi luka dari tentara Prancis tersebut.
Atau  Nasiruddin al-Tusi, yang bergabung dengan gerakan Hassasin pimpinan Hasan i-Sabbah. Saat markas Hassasin dihancurkan pasukan Mongol, kepintarannya tetap dihargai, Hulegu pemimpin Mongol engangkatnya menjadi penasihat ilmu pengetahuan, juga mengizinkan al-Tusi meneruskan karya-karyanya, termasuk membantunya membangun observatorium di Maragheh.


Sumber Referensi:
Ensiklopedi Matematika, karya Abdul Halim Fathani, Penerbit Ar-Ruzz Media [**Saya menulis review buku ini di sini**]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar