Cari Blog Ini

Selasa, 10 Maret 2020

[Review] “Empat Aku” karya Yudhi Herwibowo

Cover depan "Empat Aku". Foto oleh @RKAwan_47 

Judul      : Empat Aku: Sekumpulan Kisah
Penulis   : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Marjin Kiri
Edisi       : Cetakan pertama, Mei 2019
Format   : Paperback, vi+165 halaman, 12 x 19 cm
ISBN      : 978-979-1260-87-9
Harga     : Rp 57.000,00 (diskon harga teman 10% menjadi Rp 52.000,00)

Saya pertama kali mengetahui Mas Yudhi Herwibowo –seorang penulis berbakat yang produktif, mempublikasikan karya terbarunya berupa kumpulan cerita Empat Aku dari facebook Mas Yudhi. Selang beberapa hari kemudian, dalam suatu percakapan via whatsapp, saya dan Mas Yudhi mengobrol tentang acara Soloborasi. Saya bilang pada Mas Yudhi saya bisa ke Solo untuk hadir di acara kepenulisan tersebut, sekalian menerima beberapa koleksi terbitan lama majalah Sastra Pawon dan membeli Empat Aku.

Pada chattingan waktu itu, saya juga sempat bertanya apa “Empat Aku” berkaitan dengan filosofi Jawa keblat papat limo pancer, yang oleh Mas Yudhi dijawab bahwa judul buku terbarunya tak ada hubungannya dengan filosofi tersebut. Dari Soloborasi, saya mendapat rezeki buku selain majalah-majalah Sastra Pawon dan buku empat aku, hadiah dari keaktifan saya di suatu sesi tanya-jawab. *Terimakasih untuk tim Soloborasi👍* 
Cover belakang "Empat Aku". Foto oleh @RKAwan_47 
Di halaman awal buku Empat Aku: Sekumpulan Kisah, kita disapa dengan uraian riwayat singkat Mas Yudhi. Berikut saya kutip uraian riwayat tersebut: “Yudhi Herwibowo menempuh pendidikan teknik arsitektur, tetapi pada akhirnya lebih suka menggeluti uniapenulisan dan penerbitan. Puluhan buku telah dilahirkannya, beberapa di antaranya: Lagu Senja (2003); Menuju Rumah CintaMu (2007) yang sempat diangkat menjadi film televisi; Perjalanan Menuju Cahaya (2008); Mata Air Air Mata Kumari (2010); (Un)affair (2012); Enigma (2013); Halaman Terakhir (2015); Laki-laki Bersayap Patah (2017); Sang Penggesek Biola (2018), sebuah roman tentang W.R. Supratman” 

Empat Aku menyuguhkan 15 cerita pendek: 14 cerita pendek telah dipublikasikan di berbagai media pada kurun waktu 2010 hingga 2017, sementara 1 cerita pendek belum pernah dipublikasikan. 
Kelimabelas judul cerita pendek tersebut, sesuai urutan dalam buku adalah:
(1)Kampung Rampok
(2)Jendela
(3)Empat Aku
(4)Langda, Suatu Ketika
(5)Kota yang Ditinggalkan
(6)Kisah Kera-kera Besar yang Pergi Menuju Langit
(7)Jejak Air
(8)Bulan Terbelah
(9)Satu... Dua... Tiga... Empat....
(10)Michelle, ma belle
(11)Maaf
(12)Kisah Para Pencuri Buku Bahagia
(13)Malam Mengenang Sang Penyair
(14)Kisah Akhir Para Tiku
(15)Tanah Kabut. 

Dari kelimabelas hasil kreatifitas Mas Yudhi tersebut, sembilan cerpen bergenre realis dan sisanya bergenre realisme magis. Empat Aku, yang juga menjadi judul buku, adalah salah satu dari cerpen yang dibumbui dengan keajaiban imajinatif di buku ini. Sementara enam cerpen bergenre realis adalah Langda, Bulan Terbelah, Michelle, ma belle, Maaf, Malam Mengenang Sang Penyair, dan Kisah Akhir Para Tiku.

Cerpen-cerpen di buku Empat Aku mengangkat berbagai macam tema. Jendela, Kota yang Ditinggalkan, dan Malam Mengenang Sang Penyair misalnya, mengambil tema kehidupan seniman. Tema lika-liku kehidupan kaum marjinal tertuang dalam Bulan Terbelah. Tema soal lingkungan tercantum di cerpen Kisah Kera-kera Besar yang Pergi Menuju Langit dan Jejak Air. Michelle, ma belle, mengangkat tema kekerasan pada perempuan. Satu... Dua... Tiga... Empat... dan Maaf bercerita tentang konflik yang diwariskan ke generasi berikutnya. Empat Aku menghadirkan kisah solilokui magis yang berakhir tragis.

Bagi saya, tema lingkungan yang tertuang dalam Langda, Suatu Ketika lebih memikat dibanding cerpen Kisah Kera-kera Besar yang Pergi Menuju Langit dan Jejak Air. Kisah Akhir Para Tiku lebih mengesankan dibanding Kota yang Ditinggalkan yang sama-sama bercerita tentang riwayat seorang pencerita. Dari keseluruhan cerpen, ada dua cerpen yang menurut saya begitu menarik, dan keduanya punya kesamaan: kisah dengan latarbelakang masyarakat daerah Timur Indonesia. Kedua cerpen tersebut adalah: Langda, Suatu Ketika, yang memotret kehidupan suatu suku di Yakuhimo, Papua; dan Kisah Akhir Para Tiku, yang menuturkan cerita dari daerah Pulau Timor.

Saya begitu penasaran dalam peristiwa yang diangkat dalam Kisah Akhir Para Tiku, sampai menanyakan tentang hal tersebut pada Mas Yudhi via whatsapp. Menurut Mas Yudhi yang memang pernah tinggal di kota Kupang di Pulau Timor, peristiwa perampokan yang unik itu memang Mas Yudhi dengar dari beberapa kawan. Mas Yudhi sudah mencoba mencari data validnya namun tidak pernah menemukannya, jadi peristiwa tersebut belum bisa dikatakan 100% absah. Bagi anda yang belum membaca buku ini dan tidak paham apa yang saya maksud dengan “perampokan unik” tersebut, saya pikir hal ini bisa menambah alasan untuk segera membaca Empat Aku.

Secara keseluruhan, kumpulan cerpen dalam Empat Aku adalah cerpen-cerpen yang tak boleh dilewatkan, cerpen-cerpen yang seolah mempunyai daya untuk menarik kita menikmati kisah-kisahnya. Kecakapan dan pengalaman Mas Yudhi dalam menulis mampu menyuguhkan cerita yang membekas dan merasuk di pikiran, membuat kita memikirkan dan merenungkan cerita-cerita tersebut..

Dengan piawai, Mas Yudhi juga mampu menyisipkan kalimat-kalimat yang menurut saya bagus dijadikan quotes. Saya tuliskan empat diantaranya:
Dengan banyaknya manusia di bumi itum prosentase terkabulnya doa menjadi jauh semakin kecil. Konon, orang-orang bilang, lebih baik ikut lotere saja. Kesempatan menangnya jauh lebih besar. (Empat Aku, hal.30)
Waktu memang telah dipenuhi zat-zat untuk melupakan. Yang baik akan tergerus. Yang buruk akan menggerus. (Empat Aku, hal.31)
Kadang, masa lalu memang diciptakan untuk tidak dilupakan! (Satu... Dua... Tiga... Empat..., hal 100)
Tapi sudah menjadi naluri, berita kematian selalu memurukkan kita kepada perasaan sedih. Seakan itu tanda untuk menghapus segala kebencian. (Malam Mengenang Sang Penyair, hal.135)

Bila buku ini nanti akan dicetak ulang, saya harap penerbit mengoreksi lagi beberapa salah ketik dan salah tanda baca yang masih hinggap di Empat Aku. Hal lain tentang pencetakan, menurut saya, lebih baik bila catatan tentang istilah dan tempat yang ada di cerpen Langda, Suatu Ketika dan Kisah Akhir Para Tiku tidak ditaruh di bagian akhir setelah cerpen, namun langsung dicantumkan sebagai catatan kaki sehingga akan lebih memudahkan pembaca memahami istilah dan tempat yang tertulis. 

Bagaimanapun, Empat Aku: Sekumpulan Kisah adalah kumpulan cerpen yang menarik untuk dibaca dan layak dikoleksi. Memodifikasi pesan di akhir cerpen Kampung Rampok: “Bacalah Empat Aku! Cernalah halaman-halamanku, cerpen-cerpen di Empat Aku! Cerpen-cerpen yang bisa membuat kamu berpikir temenung...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar