Cari Blog Ini

Kamis, 03 Oktober 2019

Dua Maximus: Gladiator & Pejabat, Fiksi & Nyata, pada Film & Buku


 Maximus Decimus Meridius
“Namaku adalah Maximus Decimus Meridius, panglima Pasukan Utara, Jenderal Legiun Felix dan pelayan setia kepada Sang Kaisar sejati. Ayah dari seorang putra yang telah dibunuh, suami dari seorang istri yang telah dibunuh. Dan aku akan melaksanakan penebusan dendamku, pada saat ini ataupun di kehidupan yang akan datang.”

Kalimat di atas diucapkan oleh tokoh utama dalam film yang merupakan salah satu film favorit saya, Gladiator. Gladiator rilis pertama kali pada bulan Mei tahun 2000 di Amerika Serikat. Bila ingatan saya tidak salah saya pertama kali menonton film tersebut di sebuah stasiun televisi swasta, pada saat masih berstatus pelajar SMP kelas terakhir, kurang lebih tujuh tahun setelah film tersebut dirilis.
Poster film Gladiator. Sumber: 1stdibs.com
Dikisahkan, Maximus, yang diperankan aktor Russell Crowe, adalah seorang jenderal pasukan Romawi yang tangkas dan berani. Ia merupakan pemimpin yang dihormati dan disenangi oleh pasukannya, juga Kaisar Romawi saat itu, Marcus Aurelius. Kaisar bahkan memilih Maximus sebagai penerus takhta, mengesampingkan putranya saat itu, Commodus, yang menurut Kaisar tidak layak berkuasa.

Ketika Commodus diberitahu oleh Marcus Aurelius mengenai calon penerus takhta, Commudus gelap mata dan membunuh ayahnya sendiri. Commodus kemudian mendeklarasikan diri sebagai Kaisar yang baru, serta memerintahkan Maximus agar bersumpah setia pada dirinya, namun Maximus yang menolak membuat Commudus naik pitam. Maximus kemudian ditangkap oleh Garda Praetoria, diberitahu bahwa ia dan keluarganya akan dihabisi.

Maximus bertarung dan mampu melepaskan diri dari pasukan yang menangkapnya, meski mengakibatkan beberapa luka di tubuhnya. Maximus segera berkuda menuju rumahnya, di dekat Trujillo, dan mendapati rumahnya telah dibakar, serta istri dan putra semata wayangnya telah dibunuh. Maximus yang masih kalut menguburkan istri dan putranya. Setelahnya, dengan tubuh dan hati yang terluka, Maximus tak mampu mempertahankan kesadarannya hingga ia pingsan.

Begitu ia siuman, ia mendapati telah dibawa oleh sebuah rombongan milik pedagang budak. Ia kemudian dijual kepada Proximo, seorang “pebisnis” gladiator (mungkin di zaman sekarang seperti pemilik klub bola atau agen pemain). Maximus yang telah kenyang pengalaman akan pertempuran, mampu menjadi gladiator yang tangkas dan menang atas lawan-lawannya, membuat Maximus semakin dikenal dan dikagumi oleh orang-orang.

Suatu hari, Proximo membawa Maximus ke gelaran Gladiator terbesar yang bertempat di Colosseum di Roma, yang diadakan oleh Commodus.  Dengan wajah yang tertutup oleh helm baja, Maximus pertama kali bertarung sebagai salah satu gladiator yang berperan sebagai carthaginian dalam reka ulanng adegan Pertempuran Zama. Tanpa diduga, Maximus mampu memimpin timnya meraih kemenangan.

Commodus masuk ke arena Colosseum untuk mengucapan selamat kepada Maximus. Ia memerintahkan Maximus, yang masih menyamar, sebagai pemimpin gladiator untuk menunjukkan dirinya dan memberikan namanya. Maximus kemudian membuka helmnya, mengungkapkan dirinya dan menyatakan pernyataan penebusan dendam yang telah saya tulis di awal tulisan ini.

Bagaimana kelanjutan kisah Maximus? Saya merekomendasikan untuk menyaksikannya film ini –terlebih bagi anda yang belum menontonnya, jangan melewatkan diri tidak menonton film Galdiator ini. Film ini sendiri telah memperoleh banyak penghargaan. Pada Academy Awards ke 73 yang diadakan pada 25 Maret 2001, film ini mendapat lima penghargaan, salah satunya diberikan kepada Russel Crowe sebagai aktor terbaik.

Harian New York Times juga menyebut film ini memberikan dampak yang disebut sebagai “Gladiator’s effect”. Di antara dampak tersebut antara lain, penjualan buku yang bertema Romawi mengalami peningkatan, misalnya buku biografi Cicero yang berjudul Cicero: The Life and Times of Rome's Greatest Politician, atau buku terjemahan karya filsuf Stoisisme sekaligus salah satu Kasar Romawi Marcus Aurelius yang berjudul Meditations.

Memang meski kisah film Gladiator adalah fiktif, beberapa tokohnya diangkat dari kisah nyata. Commodus, Kaisar Marcus Aurelius dan putrinya Lucilla, adalah beberapa tokoh yang nyata ada dalam sejarah. Tokoh utama Maximus Decimus Meridius sendiri merupakan rekaan yang mengambil referensi pada beberapa tokoh Romawi, di antaranya Narcissus, Spartacus, Cincinnatus, dan Marcus Nonius Macrinus.

Claudius Maximus
Claudius Maximus, adalah seorang politikus Romawi, yang diperkirakan hidup sekitar abad 2 Masehi. Sejarawan Inggris Anthony Birley memperkirakan Maximus lahir sebelum tahun 100 Masehi. Maximus merupakan salah satu filsuf Stoa, dan merupakan guru dari Marcus Aurelius, yang juga merupakan penganut filsafat aliran Stoa atau Stoisisme.

Marcus Aurelius adalah kaisar Romawi yang bertakhta dari tahun 161 hingga ia wafat pada tahun 180, ia merupakan penguasa terakhir di antara para Kaisar yang mendapat sebutan “Lima Kaisar yang Baik”. Sekitar tahun 170 hingga 180, ia menulis sebuah karya yang pada masa kini kerap disebut sebagai Meditations. Meditatons yang terdiri dari 12 jilid ini merupakan catatan peribadi dan pandangan-pandangan Marcus Aurelius mengenai filsafat Stoisisme. Tulisan-tulisan Meditations terdiri dari kutipan dengan panjang yang bermacam-macam, dari yang hanya satu kalimat sampai yang satu paragraf panjang.

Beberapa bagian dari Meditations menceritakan Claudius Maximus. Bagian tersebut misalnya ada pada buku jilid pertama, pada kutipan ke limabelas (dapat juga disebut sebagai Meditations 1.15). Berikut kutipan tersebut dalam bahasa Inggris:
“From Maximus I learned self-government, and not to be led aside by anything; and cheerfulness in all circumstances, as well as in illness; and a just admixture in the moral character of sweetness and dignity, and to do what was set before me without complaining. I observed that everybody believed that he thought as he spoke, and that in all that he did he never had any bad intention;and he never showed amazement and surprise, and was never in a hurry, and never put off doing a thing, nor was perplexed nor dejected, nor did he ever laugh to disguise his vexation, nor, on the other hand, was he ever passionate or suspicious. He was accustomed to do acts of beneficence, and was ready to forgive, and was free from all falsehood; and he presented the appearance of a man who could not be diverted from right rather than of a man who had been improved. I observed, too, that no man could ever think that he was despised by Maximus, or ever venture to think himself a better man. He had also the art of being humorous in an agreeable way.”

Berikut terjemahan saya dari penggalan Meditations di atas:
“Dari Maximus aku belajar pengendalian diri, tidak dipengaruhi oleh apapun; gembira dalam segala keadaan, termasuk dalam keadaan sakit; memiliki gabungan karakter moral yang bersifat lembut dan menjunjung martabat; dan melakukan apa yang menjadi kewajibanku tanpa mengeluh. Aku mengamati bahwa semua orang percaya bahwa apa yang ia pikirkan sejalan dengan apa yang ia katakan, dan bahwa ia tidak pernah berniat buruk dalam setiap tindakannya; dan bahwa ia tidak pernah menampakkan keheranan dan keterkejutan dan tidak pernah buru-buru, dan tidak pernah menunda pekerjaan, juga tidak bingung atau muram, juga tidak pernah tertawa untuk menyembunyikan kejengkelannya, atau, di sisi lain, tidak pernah terlihat geram atau terlihat bertindak mencurigakan. Dia terbiasa menunjukkan kemurahan hatinya, dan siap-sedia untuk memaafkan, dan bebas dari segala kepalsuan; dan ia memperlihatkan bahwa ia seorang pria yang tak dapat dialihkan dari kebenaran bukan seseorang yang bisa dimanfaatkan. Aku mengamati juga, bahwa tidak ada seorang pun yang akan merasa bahwa dirinya direndahkan oleh Maximus, atau orang yang berani menganggap ia lebih baik dari Maximus. Maximus juga bisa menjadi humoris namun tak sampai melewati batas.”
Meditations karya Marcus Aurelius. Sumber: commons.wikimedia.org
Selain bagian di atas, bagian lain Meditations juga menyebut sekilas Claudius Maximus, pada jilid ke-delapan, paragraf ke duapuluhlima. Berikut potongan bagian tersebut yang saya terjemahankan ke bahasa Indonesia:
“Lucilla menyaksikan Verus wafat, dan kemudian Lucilla wafat. Secunda menyaksikan Maximus wafat, dan kemudian Secunda wafat. Epitynchanus menyaksikan Diotimus wafat, dan kemudian Epitynchanus wafat. Antoninus menyaksikan Faustina wafat, dan kemudian Antoninus wafat.....”

Berbeda dengan Marcus Aurelius, tidak ada (atau tidak ditemukan) peninggalan karya-karya Claudius Maximus. Namun, selain tercatat dalam Meditations, nama Claudius Maximus juga tertulis dalam catatan bersejarah lainnya, misalnya dalam Historia Agusta dan Apologia.
Salah satu halaman Historia Augusta. Sumber: commons.wikimedia.org
Historia Augusta merupakan kumpulan biografi dari akhir zaman Romawi mengenai Kaisar-Kaisar Romawi pada periode tahun 117 sampai 284. Pada Historia Augusta, nama Claudius muncul pada bagian mengenai Marcus Aurelius. Claudius Maximus disebut sebagai seorang penganut filsafat Stoa dan guru dari Marcus Aurelius.

Apologia adalah karya seorang pengelana bernama Apuleius, berisi catatan Apuleius saat ia membela diri dari tuduhan tindakan sihir untuk memikat hati (dan mendapatkan harta) seorang janda kaya. Dalam pengadilan tersebut yang bertindak sebagai hakim adalah Claudius Maximus. Pada kasus tersebut, Apuleius akhirnya dibebaskan.

Dalam Apologia, disebutkan bahwa Claudius Maximus adalah seorang saleh yang tidak suka bermewah-mewahan, juga seorang yang fasih akan karya-karya Plato dan Aristoteles. Apuleius menulis bahwa Maximus merupakan seorang yang “memiliki kredo yang tegas dan telah mempunyai pengalaman lama dalam kemiliteran”. Apuleius juga menulis bahwa sang hakim merupakan orang cermat yang memiliki filosofi yang tegas dan taat pada hukum –yang dipahami sebagai referensi tentang filsafat Stoa yang dianut Claudius Maximus. Meskipun terlihat Apuelius menyanjung Maximus, catatan tentang sang hakim tersebut bisa dipastikan kebenarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar