Cari Blog Ini

Kamis, 03 Oktober 2019

[Review] Filosofi Teras, Sebuah Filsafat Terapan Sehari-hari

Filosofi Teras

Judul                                     Filosofi Teras, Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis                                  Henry Manampiring (@newsplatter)
Ilustrator & Desain Cover     Levina Lesmana
Editor                                     Patricia Wulandari
Layout                                    Cindy Alif   
Penerbit                                 Penerbit Buku Kompas
ISBN13                                   9786024125189
Paperback, xxiv + 312 halaman
Cetakan kesembilan, Agustus 2019 (cetakan pertama November 2018)

Dari Judul sudah “Lebih Membumi”

Lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoisisme, atau Filosofi Teras, adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik-turunnya kehidupan. Jauh dari kesan filsafat sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan Generasi Milenial dan Gen-Z masa kini.
Paragraf di atas adalah blurb yang tercetak di halaman belakang buku Filosofi Teras karya Om Piring –sapaan Henry Manampiring. Sementara paragraf di bawah ini adalah salah satu penggalan yang terdapat di halaman xxii-xxiii, pada bagian “Prakata: Mengapa Saya Menulis Buku Ini?”.

Sayangnya, belum banyak buku mengenai filosofi ini di dalam Bahasa Indonesia–atau bahkan buku filsafat secara umum–mungkin karena kata “filsafat” punya banyak konotasi negatif, seperti topik yang sulit dan bikin rambut beruban, atau topik yang dianggap tidak ada relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Saya berharap buku ini bisa menjadi trigger atau pemicu untuk menumbuhkan minat–baik bagi para pembaca, penerjemah, dan penulis buku–akan buku-buku dengan tema serupa.

Memang, bagi kebanyakan orang filsafat merupakan tema yang dihindari, tema yang “melangit–mengawan–mengawang-awang”. Ambil contoh: berapa banyak yang tertarik dengan bahasan cogito ergo sum-nya Rene Descartes, Taruhan Blaise Pascal, atau komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Arsitoteles?

Namun, seperti yang dikemukakan Om Piring, Filosofi Teras adalah buku tentang fisafat yang lebih bersifat praktis. Filsafat yang lebih “membumi”, filsafat sebagai praktik dan latihan (askesis). Filosofi Teras adalah buku self-help yang relevan untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari: misalnya saat kita kesal karena terjebak kemacetan, bagaimana menghadapi opini/gosip orang lain tentang kita, bagaimana “mengelola” kekhawatiran kita, bagaimana merespon berita hoaks, dan sebagainya.
Henry Manampiring. Sumber: dailystoic.com
Istilah “Filosofi Teras” digunakan Om Piring untuk memudahkan penyebutan “Stoisisme” atau “Stoa” (halaman 22). Stoisisme merupakan cabang filsafat yang bermula sekitar 300 tahun sebelum Masehi, dari ajaran seorang filsuf bernama Zeno. Sebelum membentuk alirannya sendiri, Zeno sudah belajar filsafat dari berbagai iulsuf yang berbeda, salah satunya dari Crates, seorang filsuf aliran Cynic atau Sinisme. Zeno kemudian kerap memberi pengajaran kepada murid-muridnya di sebuah teras berpilar(dalam bahasa Yunani disebut Stoa) yang terletak di sisi Utara dari agora(tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul), dan karena itulah Zena dan para muridnya sering disebut sebagai “kaum Stoa”.

Dari kisah pendiri Zeno Sang Pendiri Stoisisme, saya berpendapat istilah yang digunakan Om Piring tidak salah, maknanya selaras. Saya sendiri dari awal melihat judul –belum melihat blurb, review pembaca lain sudah menduga bahwa Filosofi Teras berkaitan dengan Stoisisme. Mungkin, pembaca yang sudah akrab dengan filsafat juga bisa menebak demikian.

Sementara itu dengan judul Filosofi Teras, pembaca yang awam atau tidak tertarik pada filsafat akan lebih mempertimbangkan untuk membaca buku ini, mereka akan berpikir, “Teras? Kenapa disebut teras, nih? Kok kelihatannya menarik ya?” Saya bayangkan reaksi pembaca tersebut akan berbeda bila menggunakan judul “Stoisisme” atau “Stoa”, mereka akan bereaksi: “Stoisisme apaan dah, nggak minat gue sama isme isme cuma bikin pusing”, atau, “Stoa nama grup kpop apaan tuh?”

Jadi, saya pikir penggunaan judul Filosofi Teras juga merupakan keputusan yang tepat.

Panduan Sehari-Hari dan Kutipan-Kutipan Oke
Filosofi Teras dibuka dengan kata pengatar dari Dr. A. Setyo Wibowo, seorang dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Beliau bercerita tentang Gladiator, film tahun yang dirilis tahun 2000. Hubungan film itu dengan Filosofi Teras? Salah satu tokoh dalam film tersebut, Kaisar Marcus Aurelius, diangkat dari tokoh nyata.

Marcus Aurelius sendiri merupakan seorang filsuf aliran Stoa, yang mewariskan karya yang berpengaruh hingga kini –khususnya dalam filsafat Stoa– berjudul Meditations. Dalam Filosofi Teras, Meditations menjadi salah satu sumber bahasan dan kutipan, bersama dengan karya para filsuf Stoisisme zaman dulu lainnya, di antaranya: Enchiridion dan Discourses karya Epictetus, Letters dan On Tranquility of Mind karya Seneca.
Pembatas buku & salah satu ilustrasi Filosofi Teras
Ilustrasi Marcus Aurelius di atas yang sedang berkuda dan berpose adlocutio, saya menebak ilustrator mengambil referensi dari Patung Berkuda Marcus Aurelius
Selain karya-karya Stoisisme dari zaman baheula, Om Piring juga mengambil referensi dari karya yang terbit pada era sekarang. Misalnya Philosophy for Life and Other Dangerous Situations: Ancient Philosophy for Modern Problems, karya Jules Evans pada yahum 2013, atau Option B: Facing Adversity, Building Resilience, and Finding Joy, karya Sheryl Sandberg dan Adam Grant tahun 2017.
**Sedikit koreksi untuk Om Piring & Penerbit bila nanti ada terbitan baru, Judul “Option B...” belum diatur tercetak miring/italic.

Berbagai risalah Stoisisme, oleh Om Piring dibahas dengan melihat konteks –seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya– kehidupan sehari-hari kita. Termasuk juga topik khas Indonesia, seperti pertanyaan “kapan kawin?” pada bujangan.

Kutipan-kutipan yang diambil Om Piring juga bagus untuk kita share, atau dengan kata lain statusable atau storiesable. Saya ambil satu contoh:
“Kurang kerjaan (unproductive idleness) hanyalah memelihara niat jahat, dan karena orang-orang kurang kerjaan tidak bisa menjadi makmur, maka mereka menginginkan orang-orang lain nasibnya sama dengan mereka. Dari sini, mereka menjadii benci pada kesuksesan orang lain, dan menyadari kegagalanmereka, mereka marah pada nasib, mengeluhkan zaman ini, kemudian menjauhkan diri dan merenungi kesusahan hidup mereka sampai mereka muak akan diri mereka sendiri.”
Discourses, halaman 167 Filosofi Teras
Om Piring dengan gaya bertutur yang enak dibaca menuliskan bahasan-bahasannya ke dalam dua belas bab dalam Filosofi Teras, di mana pada tiap akhir suatu bab dicantumkan intisari bab tersebut. Berikut saya tuliskan rangkuman singkat berapa bahasan menarik Filosofi Teras:
The Problem with Positive Thinking. Sudah sering kita mendengar ungkapan-nasihat tentang positive thingking: “Sekedar berpikir positif bisa membawa perubahan yang kita dambakan!”, “Budayakan positive thinking, Buang negative thinking!”, dan sebagainya. Namun di Filosofi Teras kita akan diajak mengapa hal ini justru bisa menimbulkan masalah.
Bagaimana Filosofi Teras memandang kekayaan materi secara realistis dan moderat.
Metode STAR (Stop – Think & Asses – Respond ) untuk menghadapi emosi negatif.
Dikotomi Kendali dan Trikotomi Kendali. Tentang hal-hal yang bisa kendalikan ataupun tidak.
Premenditatio Malorum. Sebuah ritual pagi untuk membayangkan dan memikirkan dengan netral (tanpa harus menyebabkan kecemasan) hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada hari ini
Editor & Ilustrator Filosofi Teras: P.Wulandari & L.Lesmana. Sumber: @newsplatter
Filosofi Teras mencantumkan pula hasil Survei Khawatir Nasional yang dilakukan Om Piring via twitter. Dilengkapi juga dengan wawancara dari beberapa figur terpilih: Dr. Andri SpKJ FAPM, Wiwit Puspitasari, llia (@salsabeela), Cania Citta Irlaine (@cittairlanie), dan Agstried Piethers. Buku ini pun turut diperindah ilustrasi-ilustrasi karya Levi Lesmana (@kalevya), seperti ilustrasi Marcus Aurelius yang saya potret di atas.

Sebuah buku yang layak untuk anda baca dan koleksi. 

3 komentar:

  1. Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungan & apresiasinya :)

      Hapus
  2. tulisan tahun 2019. Saya penasaran. Apakah penulis blog ini masih "menggunakan" filosofi teras dalam kehidupannya?

    BalasHapus